Dampak Tarif Terbaru Kanada-Meksiko-China Terhadap Ekonomi AS dan Implikasi Potensial pada Indonesia

Amerika Serikat mulai Sabtu lalu (1/2) memberlakukan kenaikan tarif pada seluruh impor produk perdagangan dari Kanada dan Meksiko sebesar 25 persen, dan dari China sebesar 10 persen. Presiden Donald Trump menyampaikan keputusan itu hari Jumat (31/1), yang dipertegas juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt dalam jumpa pers.

Sejak masa kampanye Trump telah mengancam untuk menaikkan tarif perdagangan, tidak saja untuk memastikan kerjasama negara-negara yang dikenai tarif guna menghentikan imigrasi ilegal dan penyelundupan bahan kimia berbahaya untuk memproduksi fentanyl; tetapi sekaligus untuk mendorong manufaktur domestik dan meningkatkan pendapatan pemerintah federal.

“Kita tidak ingin konsesi apapun, kita lihat saja apa yang akan terjadi. Kita memiliki defisit (perdagangan) yang besar dengan ketiganya (Kanada-Meksiko-China),” tegas Trump.

Mengutip data firma pajak dan konsultasi Pricewaterhouse Coopers, Associated Press melaporkan kenaikan itu akan membuat tarif impor Kanada dari US$440 juta menjadi US$107 miliar per tahun, dan tarif impor Meksiko dari US$1,3 miliar menjadi US$132 miliar per tahun.

Pemberlakuan tarif seperti ini dinilai menimbulkan risiko politik dan ekonomi terhadap Trump, yang baru dua minggu menjabat masa jabatan keduanya. Banyak pemilih yang mendukungnya untuk mewujudkan janji kampanye utama yaitu meredam inflasi, yang salah satu di antaranya lewat kenaikan tarif; tetapi kenaikan harga dan gangguan pasokan energi, otomotif, produk-produk pertanian, daging ayam dan sapi, serta kayu ikut membayangi kebijakan ini.

Data Impor Produk Kanada, Meksiko dan China

Data Departemen Pertanian AS (USDA) menunjukkan tahun 2024 lalu Amerika mengimpor produk-produk pertanian dari Meksiko senilai US$46 miliar, yang mencakup buah-buahan senilai $9 miliar, sayur mayur segar senilai US$8,3 miliar, bir senilai US$5,9 miliar dan minuman alkohol yang disuling senilai US$5 miliar. Dari produk buah-buahan itu, US$3,1 miliar khusus diperuntukkan untuk alpukat.

Alpukat yang diberi label sebagai produk Meksiko di sebuah toko kelontong di Bethesda, Maryland, AS, saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mengenakan tarif pada Meksiko, Kanada, dan China, 1 Februari 2025. (Annabelle Gordon/REUTERS)

Alpukat yang diberi label sebagai produk Meksiko di sebuah toko kelontong di Bethesda, Maryland, AS, saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mengenakan tarif pada Meksiko, Kanada, dan China, 1 Februari 2025. (Annabelle Gordon/REUTERS)

Amerika tahun lalu juga mengimpor kendaraan bermotor bernilai US$87 miliar dan suku cadang kendaraan bernilai US$64 miliar dari Meskio; nilai ini belum termasuk data bulan Desember.

Tiga puluh persen kayu lunak (soft lumber) yang digunakan warga Amerika untuk membangun kerangka rumah, termasuk atap dan dinding, juga diimpor dari Kanada.

Mengutip data dari Footwear Distributors & Retailers of America – suatu kelompok perdagangan yang mewakili Nike, Steve Madden, Cole Haan dan puluhan merk Sepatu lainnya – Associated Press melaporkan 99 persen sepatu yang dijual di Amerika Serikat adalah produk impor. Dari jumlah itu lebih dari 56 persen adalah buatan China.

Harga semua produk-produk ini ditengarai akan naik begitu kebijakan tarif yang diberlakukan Trump pada Kanada, Meksiko dan China mulai diterapkan.

Ekonom: Kebijakan “Drill Baby Drill” Membuktikan bahwa Trump Sudah Memikirkan Dampak Kenaikan Tarif

Muhammad Faisal PhD, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan Trump bukannya tidak tahu masalah yang membayangi itu, tetapi ia mengesampingkan hal tersebut.

Muhammad Faisal dari CORE Indonesia. (Foto: Dok Pribadi)

Muhammad Faisal dari CORE Indonesia. (Foto: Dok Pribadi)

“Tentu ia punya kalkulasi, tapi ini dikesampingkan dibanding janji saat kampanye politik. Trump dan orang-orang yang memilih Trump meyakini bahwa sudah terlalu banyak produk membanjiri Amerika Serikat, yang membuat pasar manufakturnya menurun dan lapangan kerja tergerus. Soal apakah menaikan tarif dapat menjadi solusi, ini sangat debatable, karena di sisi lain ada kenaikan harga barang di dalam negeri yang tidak saja terjadi pada barang-barang impor dari tiga negara yang tarifnya dinaikkan Trump – yaitu Kanada, Meksiko dan China – tetapi juga barang-barang serupa yang diproduksi oleh Amerika Serikat sendiri. Saat harga barang-barang dari Kanada, Meksiko dan China naik, maka warga Amerika Serikat akan beralih ke produk yang harganya lebih rendah dan terjangkau, termasuk produk buatan Amerika Serikat. Ketika demand produk Amerika Serikat tinggi, maka harganya juga akan naik.”

Faisal memperkirakan Trump sejak awal sudah memikirkan dampak kenaikan tarif ini dengan mendorong kebijakan “drill baby drill” guna menggenjot produksi energi tak terbarukan yang dinilainya dapat meredam inflasi.

“Itulah sebabnya Trump mendorong produksi energi yang bukan energi hijau ramah lingkungan yang jelas lebih mahal. Trump mendukung energi tak terbarukan (minyak bumi, batu bara, gas alam dan energi nuklir.red). Amerika serikat memiliki cadangan besar di energi ini dan Trump meyakini hal itu dapat meredam inflasi,” imbuhnya.

Masih Terpaku Kebijakan pada Masa Jabatan Pertama?

Namun pakar ekonomi di CSIS, Muhammad Habib, khawatir Trump masih terpaku dengan kebijakan kenaikan tarif terhadap China yang diberlakukannya pada masa jabatan pertama.

M. Habib Abiyan Dzakwan. (Courtesy: www.csis.or.id)

M. Habib Abiyan Dzakwan. (Courtesy: www.csis.or.id)

“Saat masa jabatan pertama, kenaikan tarif terhadap China hanya menurunkan jumlah impor China ke Amerika Serikat dan tidak terlalu berdampak pada inflasi karena banyak negara segera step up – atau mungkin profit taking – dengan menggantikan produk-produk China yang dikenai tarif dan demand-nya turun. Tetapi kebijakan kenaikan tarif yang kini diberlakukannya terhadap Kanada dan Meksiko – dua negara yang berbatasan langsung dengan Amerika Serikat– sudah jauh berbeda, karena keduanya mengimpor begitu banyak produk ke Amerika. Hal ini yang menurut saya belum diantisipasi Trump.”

Sebagai Penerima GSP dari Amerika Serikat, Adakah Implikasi Kenaikan Tarif Trump?

Faisal dan Habib sama-sama memproyeksikan bahwa Trump bisa jadi akan menaikkan tarif impor dari negara-negara lain, termasuk dari Vietnam – dan mungkin saja dari Indonesia, yang pernah ikut menikmati fasilitas khusus dalam GSP (generalized system of preferences) sebelum berakhir pada Desember 2020.

“Saya kira untuk mengantisipasi kemungkinan kena tarif, pemerintah harus mencari jalan keluar untuk produk-produk yang kemungkinan berkurang permintaannya di pasar Amerika Serikat. Bisa dengan meningkatkan serapan pasar dalam negeri dan meningkatkan ekspor ke pasar negara lain. Ini terutama untuk produk tekstil, yang memang 50 persen dipasarkan ke Amerika Serikat, dan termasuk salah satu dari 3.500an produk Indonesia yang menerima GSP (generalized system of preferences) dari Amerika Serikat,” sebutnya.

GSP adalah fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara berkembang sejak tahun 1974. Perkembangan Terkini Perang Dagang Amerika Serikat

Indonesia mendapatkan Generalized System of Preferences (GSP) ini sejak tahun 1980. GSP memberikan fasilitas tarif preferensial bagi negara-negara berkembang untuk mengekspor produk-produknya ke Amerika Serikat. Namun, perpanjangan GSP bagi Indonesia masih tertunda dan sedang menunggu kajian Kongres Amerika Serikat.

Langkah Strategis dalam Menghadapi Kebijakan Tarif Baru Amerika Serikat

Muhammad Habib di CSIS memberikan empat langkah strategis untuk mengantisipasi dampak kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap negara-negara seperti Kanada, Meksiko, dan China. Pertama, identifikasi produk yang bisa ditingkatkan pembeliannya dari Amerika Serikat. Kedua, mobilisasi sektor swasta di Indonesia untuk berinvestasi di Amerika Serikat. Ketiga, menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dengan memperhatikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Keempat, diversifikasi pasar produk Indonesia ke negara-negara maju lainnya.

Respon Kanada dan Meksiko terhadap Kebijakan Tarif Amerika Serikat

Kanada memberlakukan tindakan balasan dengan memberlakukan tarif 25 persen pada impor Amerika Serikat senilai US$155 miliar. Sementara itu, Meksiko memantau situasi dengan kepala dingin dan mempersiapkan alternatif solusi. Muhammad Habib menilai pentingnya mengamati dampak perang dagang terhadap politik dan ekonomi Amerika Serikat.

Pernyataan Donald Trump Mengenai Perang Dagang

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengatakan bahwa warga Amerika Serikat mungkin akan merasakan dampak perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Trump mengklaim bahwa tanpa surplus perdagangan dengan Amerika Serikat, Kanada akan mengalami kerugian. Pemerintah Trump akan terus melanjutkan kebijakan tarif tersebut untuk memperkuat Amerika Serikat.

Kesimpulan

Perang dagang antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain seperti Kanada, Meksiko, dan China memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi global. Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk menghadapi kebijakan tarif baru Amerika Serikat dan melakukan diversifikasi pasar produk. Dengan memperhatikan perkembangan terkini dan respon negara-negara lain, Indonesia dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan dalam perdagangan internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *