Bahaya dan Pelanggaran Hukum dalam Pemberian Maaf kepada Koruptor


Prabowo Subianto: Koruptor Bisa Dimaafkan Jika Mengembalikan Uang

Pada sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, Presiden Prabowo Subianto membuat pernyataan kontroversial mengenai korupsi. Beliau menegaskan bahwa koruptor bisa saja dimaafkan asalkan mereka mengembalikan uang hasil kejahatannya kepada negara, baik secara terbuka maupun diam-diam.

Pengembalian Uang Sebagai Syarat Pengampunan

Prabowo Subianto menyerukan kepada para koruptor atau mereka yang merasa pernah mencuri uang rakyat untuk mengembalikan apa yang telah mereka curi. Beliau menyampaikan bahwa jika uang tersebut dikembalikan, maka mungkin mereka akan mendapatkan pengampunan. Namun, Prabowo juga menekankan pentingnya para pemangku kepentingan untuk menjalankan kewajiban mereka dan taat pada hukum. Beliau mengancam akan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun yang melanggar hukum.

KPK mengumumkan tindak lanjut penanganan kasus korupsi di Kabupaten Mamberamo Tengah, Rabu (14/9) malam. Foto screenshot

KPK mengumumkan tindak lanjut penanganan kasus korupsi di Kabupaten Mamberamo Tengah, Rabu (14/9) malam. Foto screenshot

Kritik Terhadap Pernyataan Prabowo

Peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainur Rohman, menyatakan bahwa wacana pengampunan bagi koruptor meskipun bertujuan baik, sebenarnya dapat berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak akan menghapus pidana, sehingga koruptor tetap harus diproses hukum meskipun telah mengembalikan uang hasil korupsi.

Zainur juga menekankan bahwa dari segi hukum, pengembalian uang negara dapat berdampak pada tuntutan jaksa dan vonis hakim. Pengembalian uang negara juga dapat menjadi alasan untuk meringankan sanksi hukum karena dianggap sebagai tindakan koorporatif. Namun, Zainur menegaskan bahwa saat ini tidak ada alasan untuk tidak memproses pelaku korupsi hanya karena mereka mengembalikan uang ke negara.

Sementara dari sisi praktik, Zainur menyoroti bahwa koruptor mungkin tidak akan mau mengembalikan uang hanya karena janji-janji semata, karena mereka takut akan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, penindakan koruptor dengan menggunakan instrumen hukum dan kerja sama aparat penegak hukum dianggap sebagai cara yang paling efektif dalam pemberantasan korupsi.

Merongrong Supremasi Hukum

Alvin Nicola, peneliti di Transparency Internasional Indonesia, mengkritik pernyataan Prabowo Subianto yang menawarkan pengampunan bagi koruptor. Menurut Alvin, sistem hukum Indonesia tidak mengenal amnesti bagi koruptor atau pelaku kejahatan ekonomi. Negara-negara dengan skor Corruption Perception Index (CPI) tinggi justru memberlakukan hukuman pidana badan dan perampasan aset sebagai bentuk pemberantasan korupsi.

Seorang perempuan berjalan melewati tembok berhias grafiti yang menunjukkan dukungan terhadap gerakan anti korupsi di Jakarta, 20 Juli 2010. (Foto: AFP/Bay ISMOYO)

Seorang perempuan berjalan melewati tembok berhias grafiti yang menunjukkan dukungan terhadap gerakan anti korupsi di Jakarta, 20 Juli 2010. (Foto: AFP/Bay ISMOYO)

Alvin juga menyoroti potensi penyalahgunaan kepentingan politik dalam pemberian ampunan kepada koruptor. Ia menekankan bahwa melakukan pengampunan tanpa landasan hukum dapat mendorong budaya impunitas di mana koruptor merasa bahwa tindakan korupsi akan diabaikan atau diampuni.

Untuk mewujudkan wacana pengampunan bagi koruptor selama mereka mengembalikan uang hasil korupsi, Alvin menyarankan perlunya amandemen UU Perampasan Aset. Tanpa amandemen tersebut, pemberian pengampunan dapat kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang sudah dijanjikan presiden sejak awal.

Dengan demikian, pernyataan Prabowo Subianto tentang memberikan pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan uang menjadi sorotan kritis dari berbagai kalangan. Meskipun bertujuan baik, implementasi wacana tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang agar tidak merongrong supremasi hukum dan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *